Tulisan Terkini

Kamis, 29 Desember 2011

Desentralisasi Belum Sampai Tujuan

YOGYA (KR) - Penerapan desentralisasi di Indonesia menurut Buya Syafii Ma’arif belum mencapai tujuan. Karenanya Syafii mengusulkan bentuk negara Indonesia dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diubah menjadi Negara Persatuan Republik Indonesia (NPRI). Menurutnya, konsep negara federasi seperti Malaysia, Swiss maupun Jerman agaknya lebih tepat agar pemimpin tidak melihat Indonesia dari Jakarta, atau Jawa saja.

Sejarawan Prof Dr HA Syafii Maarif menyampaikan hal tersebut di hadapan mahasiswa Fisipol se-DIY dan Jateng pada acara Dialog Negeriku bertajuk ‘Membangun Kultur Ideal dalam Menciptakan Pemimpin Ideal 2014’. Kegiatan diadakan Forum Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Indonesia (FOLMASPI) bekerjasama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (BEM Fisipol UMY), Selasa (27/12) di Ruang Sidang lantai 5 Gedung AR Fahruddin B Kampus Terpadu UMY. Dialog juga menghadirkan Wakil Ketua Komisi 2 DPR-RI Ganjar Pranowo SH dan Dosen Fisipol UMY Adde M Wirasenjaya S.IP MSi.

Dikatakan, meski pemerintah menerapkan sistem desentralisasi di Indonesia, nilai-nilai sentralistik masih sangat kental dirasakan dalam aplikasinya. “Walaupun kewenangan diserahkan ke daerah, izin pembangunan ke pemerintah pusat masih melalui proses yang lama sekali. Itu karena pemerintah pusat belum tentu tahu kondisi di daerah. Semua masih hanya melihat Jawa. Tidak ada distribusi kekayaan yang adil,” tandasnya. (Fsy)-a

sumber: http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=136917&actmenu=35
28/12/2011 07:50:34
Home >> Berita Utama (Hlm Luar)

Selasa, 27 Desember 2011

Buya Syafii: Ganti NKRI jadi NPRI

Penerapan desentralisasi di Indonesia menurut Buya Syafii Ma’arif belum mencapai tujuan. Hal ini menggelitik Syafii untuk mengusulkan bentuk negara Indonesia dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi Negara Persatuan Republik Indonesia (NPRI). Menurutnya, konsep negara federasi seperti Malaysia, Swiss maupun Jerman agaknya lebih tepat agar pemimpin tidak melihat Indonesia dari Jakarta, atau Jawa saja. Syafii menyampaikan hal tersebut di hadapan mahasiswa FISIPOL se-DIY dan Jateng pada acara Dialog Negeriku bertajuk “Membangun Kultur Ideal dalam Menciptakan Pemimpin Ideal 2014” yang diadakan Forum Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Indonesia (FOLMASPI) bekerjasama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (BEM FISIPOL UMY), Selasa (27/12) di Ruang Sidang lantai 5 Gedung AR Fahruddin B Kampus Terpadu UMY.

Syafii juga menilai, meskipun pemerintah menerapkan sistem desentralisasi di Indonesia, nilai-nilai sentarlistik masih sangat kental dirasakan dalam aplikasinya. “Walaupun kewenangan diserahkan ke daerah, izin pembangunan ke pemerintah pusat masih melalui proses yang lama sekali. Itu karena pemerintah pusat belum tentu tahu kondisi di daerah. Semua masih hanya melihat Jawa. Tidak ada distribusi kekayaan yang adil”, terangnya.

Sebuah negara majemuk menurut Syafii seharusnya benar-benar mempertimbangkan keanekaragaman yang ada, baik suku ras agama. Para pemimpin yang ideal adalah yang melihat negara ini dari kacamata Indonesia seutuhnya. “Tidak seperti sekarang ini, lebih dari setengah perederan uang di Indonesia terjadi di Jawa. Padahal Indonesia negara dengan tradisi sosiokultural yang kental. Kekhasan daerah harus dipertimbangkan”, jelas Syafii.

Kelompok separatis yang muncul di berbagai daerah di luar Pulau Jawa, menurut Syafii juga muncul salah satunya akibat kegelisahan masyarakat yang tidak mampu mengembangkan daerahnya tersebut. Sistem pemerintahan di Indonesia cenderung menimbulkan kesenjangan pembangunan. “Padahal sumber daya alam daerah tersebut begitu berlimpah. Ya ini karena pusat pemerintahan masih ada di Jawa”.

Selanjutnya Syafii menjelaskan, upaya-upaya yang dituturkannya ini tetap hanya akan terjadi jika Indonesia dipimpin oleh para politisi yang idealis, bukan pragmatis seperti sekarang ini. Permasalahan besar menurutnya saat mengetahui 94% kepala daerah di Indonesia bahkan pecah dengan wakilnya sendiri. “Jadilah pemimpin untuk rakyat, bukan pemimpin untuk partai. Kita harus mengatakan selamat tinggal bagi pemimpin asal-asalan”

Selain Syafii Ma’arif, dialog tersebut menghadirkan Wakil Ketua Komisi 2 DPR-RI Ganjar Pranowo, SH., dan pengamat politik yang juga dosen FISIPOL UMY, Adde M. Wirasenjaya SIP., M.Si.

sumber: http://www.umy.ac.id/buya-syafii-ganti-nkri-jadi-npri-indonesia-bukan-jawa.html

Buya Syafii, "Desentralisasi Masih Sekadar Jargon"


BUYA Syafii Maarif saat pidato di depan Forum Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Indonesia (FOLMASPI) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di UMY...

YOGYAKARTA - Desentralisasi yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan kekuasaan pusat dan daerah yang digulirkan satu dasawarsa terakhir, belum mencapai
hasil dan cenderung tidak cocok karena sentralisasi kekuasaan di Jawa tetap mendominasi.

Mantan Ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii) menyatakan desentralisasi masih sekadar jargon, nilai-nilai sentralistik sangat kental dalam aplikasinya.

Berbicara di depan mahasiswa ilmu politik seluruh Yogyakarta, Selasa (27/12), Buya Syafii menyatakan desentralisasi barangkali tidak cocok dengan sosiokultur masyarakat Indonesia. Walaupun daerah diberi kewenangan/kekuasaan, pemerintah pusat masih tetap dominan kekuasaannya. Kemudian standar kekuasaan merujuk ke Jawa.

Menurut dia negara multikultural semacam Indonesia seharusnya mengutamakan keanekaragaman suku, ras, agama. Kemudian memperluas kesempatan dan membesar kapasitas kekayaan daerah sebagai modal pembangunan di daerah.

Guru besar Universitas Negeri Yogyakarta tersebut menyatakan, sentralisasi yang merujuk pada dominasi kekuasaan di Jawa menumbuhkan perputaraan keuangan tidak merata, terbanyak di Jawa.

"Lebih dari setengah perederan uang di Indonesia terjadi di Jawa," kata dia di Universitas Muhammmadiyah Yogyakarta saat dialog “Membangun Kultur Ideal dalam Menciptakan Pemimpin Ideal 2014”, diselenggarakan Forum Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Indonesia (FOLMASPI) dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMY.(A-84/kur)***

sumber: Pikiran Rakyat Online; Selasa, 27/12/2011 - 15:14 WIB
http://www.pikiran-rakyat.com/node/170938

Konvensi FOLMASPI Regional DIY dan Jateng di UMY

Konvensi FOLMASPI Regional BEM FISIPOL se-DIY dan Jateng, pertemuan ini dilaksanakan pada hari selasa 27 Desember 2011 pukul 14.25 WIB bertempat di Ruang Sidang Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Gd. Ki Bagus Hadikusuma Lt. 3. Dalam pertemuan ini, dihadiri oleh perwakilan BEM FISIPOL se-DIY dan Jateng.

Pertemuan ini dibuka dengan pembacaan kalam ilahi dan dilanjutkan dengan pengarahan dari saudara Muhammad Rizqi selaku MC. Pertemuan ini diawali dengan sambutan-sambutan, sambutan pertama disampaikan oleh Muhammad Siddiq selaku tuan rumah Konvensi FOLMASPI dan Gubernur BEM FISIPOL UMY, saudara Siddiq memaparkan informasi seputar BEM FISIPOL UMY kepada perwakilan BEM FISIP se-DIY dan Jateng. Selanjutnya sambutan dari Sekjen FOLMASPI saudara Zulfikar Mufti, dan sambutan dari Deputi Sekjen FOLMASPI, saudara M. Irsal Zainal.


Zulfikar Mufti saat memberikan sambutan

Setelah sambutan dilanjutkan dengan pemaparan oleh Saudara Irsal. Ia menyampaikan bahwa, forum mahasiswa di tingkat nasional seringkali menimbulkan konflik dan politik kepentingan seputar pemilihan presidium maupun korwil. Sehingga yang terjadi adalah perpecahan dalam sebuah forum nasional dan perebutan kekuasaan. Di FOLMASPI, orientasi kekuasaan ini berusaha di hilangkan. Sejak pembentukan FOLMASPI pada tahun 2009 silam, dicarilah formulasi yang tepat dan paling representatif untuk mencegah hal-hal yang ditakutkan terjadi di FOLMASPI yang terjadi di forum nasional lainnya. Sehingga dipandang pergiliran kepemimpinan yang merupakan cara yang tepat sebagai mekanisme kepemimpinan di FOLMASPI.

Irsal juga mengungkapkan bahwa FOLMASPI berdiri bukan tanpa sejarah, catatan awal berdirinya FOLMASPI telah termaktub dalam Manifesto FOLMASPI dan sejarah FOLMASPI tercantum dalam berkas merah FOLMASPI. Keberadaan FOLMASPI ini juga tidak terlepas dari keberadan BEM FISIPOL se-DIY dan Jateng yang telah menjadi founding father (pendiri) bagi lahirnya forum ini.

Di usia yang telah beranjak 2 tahun ini, FOLMASPI akan berkomitmen untuk terus bertahan. Dan sesuatu yang luar biasa, di umurnya yang 2 tahun ini juga, sudah banyak BEM FISIPOL dari berbagai daerah yang menyatakan diri ingin bergabung dengan FOLMASPI ini, namun karena pembenahan yang bersifat internal menyebabkan saat ini belum dapat menerima anggota baru untuk bergabung. Di tekankan oleh saudara Irsal, untuk bergabung dalam FOLMASPI dibutuhkan pernyataan tertulis dari BEM FISIPOL yang akan bergabung, mekanisme ini mengadopsi sistem yang diberlakukan dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Dalam konvensi ini juga disampaikan bahwa pelaksanaan tugas dalam FOLMASPI bukan berbentuk LPJ, namun lebih ke pertanggungjawaban kepada Komite Nasional yang terdiri dari Ketua Umum BEM FISIPOL yang merupakan anggota FOLMASPI. Kedepannya, FOLMASPI ingin menunjukkan kontribusi nyatanya terhadap isu-isu di tingkat nasional, hal ini sebagai bentuk dedikasi kepada negara kita.

Konvensi FOLMASPI ini dilanjutkan dengan serah-terima jabatan Sekjen dan Deputi Sekjen, dalam giliran periodisasi ini dilanjutkan oleh Ahmad Fanani (mantan Gubernur BEM FISIPOL UMY periode 2010-2011) dari BEM FISIPOL UMY sebagai Sekjen menggantikan Zulfikar Mukti dari BEM FISIPOL UNDIP, sedangkan posisi Deputi Sekjen yang dipegang oleh M. Irsal Zainal dari BEM FISIPOL UMY diserahkan kepada Wahyu Indra Prabowo dari BEM FISIP UNSOED.



Prosesi serah-terima jabatan ini disaksikan oleh Ketua BEM FISIPOL masing-masing perwakilan yang menerima amanah dan memberikan amanah. Penyerahan pertama, dari Zulfikar Mukti (BEM FISIP UNDIP) selaku Sekjen yang memberikan amanah, kepada Ahmad Fanani (BEM FISIPOL UMY) selaku Sekjen yang menerima amanah disaksikan oleh Muhammad Siddiq selaku Gubernur BEM FISIPOL UMY periode 2011-2012.



Selanjutnya, serah-terima amanah Deputi Sekjen dari M. Irsal Zainal (BEM FISIPOL UMY) selaku yang memberikan amanah disaksikan oleh Muhammad Siddiq selaku Gubernur BEM FISIPOL UMY periode 2011-2012, kepada Wahyu Indra Prabowo (BEM FISIP UNSOED) disaksikan oleh Fendi selaku Presidium BEM FISIP UNSOED.

Setelah proses serah-terima selesai, MC kembali mengarahkan pertemuan ini. Pertemuan ini kemudian ditutup oleh MC dengan bacaan Hamdalah. Setelah penutupan dilanjutkan dengan sesi foto bersama, seluruh peserta Konvensi FOLMASPI ini berfoto bersama. Setelah selesai foto bersama, seluruh peserta meninggalkan ruangan.

Reporter: Leny Ferayanti (Staf Divisi Media dan Informasi BEM FISIPOL UMY) dan Achmad Zulfikar (Ketua Divisi Media dan Informasi BEM FISIPOL UMY)

sumber: http://bemfisipol.umy.ac.id/2011/12/konvensi-folmaspi-regional-diy-dan.html

Reportase Dialog Negeriku "Membangun Kultur Politik dalam Menciptakan Pemimpin Ideal 2014"



Dialog Negeriku yang berlangsung di Gedung AR-Fachrudin B lantai 5 Kampus Terpadu UMY di hadiri hampir sekitar 175 orang mahasiswa baik dari internal UMY maupun delegasi dari universitas se-DIY dan dan Jateng, acara yang berlangsung pada hari Selasa tanggal 27 Desember 2011 pukul 09.30 WIB, dimulai dengan sambutan dari Ketua Panitia Mohammad Ichsan, dan Sekjen FOLMASPI Zulfikar Mufti.

Dalam sambutannya, Zulfikar dengan nada penuh semangat mengharapkan semoga acara ini dapat menumbuhkan pemikiran yang cerdas dan ber-moral agar dapat berkontribusi di bangsa ini. Setelah sambutan, acara ini dibuka langsung oleh Dekan FISIPOL UMY bapak Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc.

Setelah dibukanya acara dengan resmi, agenda selanjutnya adalah penyampaian pengantar oleh Keynote Speaker bapak Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii). Beliau menyampaikan bahwa pembagian kebijakan politik dan ekonomi yang tidak merata yang terkonsentrasi hanya pada pulau Jawa saja yang menjadi pusat konsentrasi, maka Negara ini tidak akan merdeka dalam kesejahteraan.

Beliau juga mengatakan bahwa usulan yang diberikan Gubernur Sum-Sel untuk pembangunan sulit untuk langsung diterima oleh pemerintah pusat karena prosesnya yang lama sehingga menyebabkan keterlambatan pembangunan, beliau juga mengharapkan kepada calon pemimpin untuk keseriusan dalam membangun bangsa yang sedang bimbang ini.

Setelah penyampaian keynote speech oleh Buya Syafii, acara selanjutnya adalah Dialog Negeriku dan disampaikan langsung oleh bapak Ganjar Pranowo yang dimoderatori oleh M.Irzal Zaenal, pak Ganjar menyampaikan demokrasi yang dialami sekarang sedang bobrok akibat banyaknya politisi kalangan DPR yang hanya mencari keutungan dalam berkuasa, bukan malah memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya.

Di negeri ini sulit untuk menemukan sosok pemimpin ideal di akibatkan konstitusi liberal, ia juga sempat menyinggung masalah Pilkada di sumsel mengenai masalah Cabup dan Wabup yang menghabiskan dana sekitar 128 milyar hanya untuk mendapatkan kekuasaan. Hal tersebut, merupakan nominal yang sangat fantastis yang mencerminkan bahwa ada yang dikejarnya dalam berkuasa melihat sumber PAD yang mencapai hampir 3 triliun dari perusahaan minyak dan gas dan hal ini mungkin membuat para perusak demokrasi untuk mendapatkan kekuasaan.

Ia juga sempat menanggapi banyaknya calon pilpres dari kalangan orang yang umurnya 60 tahun ke atas, ini disebabkan problem anak muda yang tidak mampu menyelesaikan masalah negaranya sehingga di ambil oleh oleh orang yang telah berumur, ia juga sempat menanyakan kepada kandidat pilpres apa yang mereka siapkan untuk menghadapi pilpres ini, jawabannya adalah uang. Dinamika politik yang sangat kejam itulah nantinya akan menghilanghkan idealisme individu seseorang.

Setelah pemaparan dari bapak Ganjar Pranowo, dialog dilanjutkan dengan pemaparan oleh bapak Adde Wirasenjaya, S.IP, M.Si., ia menyampaikan hampir seluruh para elit pemerintahan berasal dari agama Islam, dan terkadang konflik ditimbulkan oleh orang yang beragama. Jika kita berandai-andai, mungkin kalau kita dipimpin oleh orang Atheis, tidak akan terjadi konflik atas nama agama, dengan nada sambil tertawa. Setelah itu masih dengan gaya lelucon, ia menyebutkan pemimpin ideal dan idiot, serta perbedaan tipis jika waktu siang ia menjadi narasumber dalam suatu acara tapi besok ya menjadi narapidana, pada masa otoriter bandit ya masih berprilaku diam tetapi pada masa demokrasi ini malah para bandit menyebar dan meluas.

Indonesia termasuk Negara yang paling sibuk dalam menjalankan pilkada ,kultur politik yang narsis karena para monster politik ini selalu fotonya bertebaran dimana mana termasuk dalam WC dan pohon , inilah para politisi tidak pernah memikirkan kultur politik di bangun , ia hanya memikirkan uang dan kemewahan,berbeda dengan Negarawan ia lebih memikirkan penyelamatan bangsa ini dari keterpurukan, masih dengan lelucon ya ia mengatakan bahwa politisi ini seperti semangka bungkusnya hijau dalamnya merah, yang mengartikan bahwa kebusukannya baru terlihat, bila ia sudah mendapatkan kekuasaan, partai politik hanya sebagai identitas untuk mendapatkan kekuasaan.

Setelah pemaparan dari kedua pemateri, dilanjutkan dengan tanya jawab dari peserta dialog, satu per satu pertanyaan diarahkan kepada dua pembicara. Setelah seluruh pertanyaan dilontarkan dari peserta, bapak Ganjar Pranowo dan bapak Adde M. Wirasenjaya mulai menjawab satu-per-satu pertanyaan dari peserta.

Setelah sesi tanya jawab, acara dialog negeriku akhirnya ditutup dengan bacaan Hamdalah dan mendapatkan tepuk tangan yang meriah dari seluruh peserta dialog. Harapan kedepannya tentunya dari dialog ini tidak hanya sekedar seremonial belaka, namun diharapkan dapat juga sebagai upaya generasi muda untuk mengidentifikasi dan mencari pemimpin ideal 2014.

Reporter: Royki Bistian
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY 2011
Staf Divisi Media dan Informasi BEM FISIPOL UMY

sumber: http://bemfisipol.umy.ac.id/2011/12/reportase-dialog-negeriku-membangun.html